Apa aku adalah sahabat yang baik?
Selama ini aku pikir aku telah
menjadi seorang sahabat yang baik. Aku selalu mendengarkanmu, menemanimu dalam
suka dan duka. Mengalah untuk setiap keegoisanmu, dan menuruti semua hanya agar
kita tak saling bertentangan. Tidak jarang aku marah, tapi cukup kupendam
sendiri. Selalu mencari beribu alasan positif agar tidak ada konflik diantara
kita. Tapi yang kau lakukan, selalu sebaliknya.
Beberapa waktu lalu aku menonton
sebuah film, di film tersebut menceritakan tentang sekelompok sahabat, dimana
salah satu diantara mereka ada seorang yang selalu dianggap sebagai sahabat
yang paling baik d antara yang lain, dan ada satu lagi yang justru selalu di
bully. Saat itu sahabat yang selalu di bully itu memulai sebuah permainan, dimana
permainan itu berisi beberapa pertanyaan tentang beberapa kejadian yang terjadi
di antara mereka. Sahabat yang baik adalah orang yang memiliki attitude yang
baik, sehingga disegani dan dipandang sebagai sahabat yang paling baik. Namun
berkat pertanyaan ini, terungkaplah sisi pandang setiap orang, ternyata semua
temannya pernah satu-dua kali tanpa sengaja sakit hati atas sikap teman yang
baik tersebut.
Dari sini aku sadar, tak pernah
ada yang mengeluhkanku bukan berarti aku sahabat yang baik. Aku sendiri
berusaha memendam apabila aku marah dengan seseorang, mungkin kamu juga begitu.
Bisa jadi justru aku tak pernah menjadi bahkan sekedar teman yang baik bagimu.
Tapi kejadian ini membuatku
benar-benar kecewa. Jika dikejadian lalu aku hanya marah padamu, dan
menciptakan keretakan di hatiku, kali ini aku benar-benar kecewa padamu, bahkan
aku membangun parit yang dalam diantara kita. Maaf untuk aku yang jadi semakin
egois, maaf untuk aku yang tak mau mengerti. Maaf untuk bertahun-tahun yang
menjadi sia-sia.
Aku bukan sedang mencari
pembenaran atas apapun, karena aku tahu, aku pun bersalah padamu. Maaf karena
aku tak bisa mengungkapkan ini semua secara langsung. Bagaimana mungkin aku
bisa mengatakannya, ketika hati kita bahkan sudah saling menjauh.
Semakin
jauh aku mendaki, ternyata egoku malah semakin meninggi.
Memiliki pijakan yang lebih kuat hanyalah sebuah kamuflase dalam pembelaan.
Deru angin yang semakin kencang membuat hati nurani tertutup sampah kesombongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar