Jumat, 06 Februari 2015

Autumn in Paris



Dilihatnya sosok yang terbaring tak bergerak di ranjang. Wajahnya nyaris tak terlihat jelas dibalik semua perban dan masker oksigen. Selang dan kabel menghubungkan tubuhnya ke semua mesin dan peralatan yang ada di sekitar ranjang. Monitor mesin penunjuk detak jantung menampilkan garis tidak teratur. Jantungnya masih berdetak. Ia masih hidup ...
---------
Kita memiliki mata yang sama.
Berdiri di puncak Arc de Triomphe dan memandangi kota paris dari ketinggian, benar-benar memberikan rasa yang tenang. Seluruh beban di dadanya selama seminggu ini, benar-benar membuatnya sesak. Sambil memejamkan mata, ia biarkan seluruh sesak itu berhembus bersama angin yang menerpa wajahnya, dan membuat rambut coklatnya berkibar-kibar.
“Di sini kau rupanya” sebuah suara mengejutkannya. Suara yang sangat dirindukannya. Suara yang membuat hari-harinya menjadi begitu indah. Suara yang membuat mimpinya menjadi berwarna.
“Kau tau, aku sudah berlari keliling paris untuk mencarimu. Ternyata kau malah sedang asik melamun di sini.” Laki-laki ini tersenyum dengan manisnya. Memamerkan deretan gigi putihnya. Senyum yang indah, senyum yang sangat dirindukannya.
“Apa yang sedang kau lihat?” pria itu kembali bertanya. Suaranya sangat khas. Suara yang sangat merdu untuk didengar. Suara yang selama ini menyanyikan lagu-lagu indah untuknya.
Pria itu menatapnya, dengan tatapan mata yang lembut dan teduh. “jangan menatapku seperti itu. Saat melihat matamu, aku selalu merasa seperti sedang bercermin. Karena kita memiliki mata yang sama.”
Matahari tenggelam di balik puncak Arc de Triomphe. Membungkus kota paris dengan warna jingga. Burung-burung camar terbang beriringan menghampiri matahari. Dan malampun siap membungkus kota paris.
---------
Mata berwarna abu-abu
“Hari ini aku akan menjadi guide untukmu. Tempat apa yang ingin kau kunjungi? Katakan saja, nanti aku akan mengantarkanmu kesana.” Gadis berambut coklat itu berbicara dengan riang. Suasana hatinya sedang cerah, seperti matahari yang malu-malu menyinari kota paris. Dimusim gugur seperti ini, matahari memang tidak bersinar terik, tapi cukup cerah untuk menghabiskan hari diluar rumah.
“Aku tau kau sangat menyukai museum seni. Di paris ada banyak museum. Ada louvre, Musèe Rodin, Musèe d’Orsay, dan lain-lain. Kau mau kemana dulu?” gadis itu tersenyum dengan manis. Lesung pipit di kiri wajahnya membuat senyumnya benar-benar manis. Dan dia memiliki senyum yang menular. Membuat siapapun yang melihatnya menjadi ikut tersenyum.
Berjalan-jalan sore di Jardin du Luxembourg memang menyenangkan. Melihat dedaunan yang mulai menguning di musim gugur. Menginjak daun-daun kering yang menutupi jalan. “Hei, aku baru sadar warna matamu abu-abu. Sama seperti aku. Kau lihat? Mataku juga abu-abu.”
---------------
Mata Ayah
La Vue, salah satu klub malam paling besar dan paling terkenal di Paris. Klub malam ini tidak pernah sepi, apalagi dimalam libur seperti ini. Banyak remaja yang menghabiskan malamnya di tempat ini.
Elise, teman wanita dari gadis berambut coklat itu mengadakan pesta ulang tahunnya ditempat ini. Dia hanya mengundang 2 orang teman dekatnya saja untuk ditraktir minum. Tapi, acara ini lebih mirip triple date dibanding pesta ulang tahun.
Malam semakin larut, dan suasana semakin meriah. Seorang pria bertubuh tinggi dan berambut coklat menghampiri meja mereka.
“Papa ....” gadis berambut coklat itu berseru dengan riangnya. Gadis pirang itu kini berdiri disamping pria berambut coklat, dan menghadap keteman-temannya.
“Hello ma chèrie ..” kata pria itu sambil merangkul gadis berambut coklat.
“Teman-teman, bagi kalian yang belum pernah melihat ayahku, ini dia, pemilik klub yang keren ini ..” gadis pirang itu memperkenalkan ayahnya dengan bangga.
“Monsieur ....” tanpa sadar seorang laki-laki di meja itu berbisik.
“Kalian berdua sudah saling mengenal?” gadis berambut coklat itu menatap laki-laki di hadapannya dan ayahnya secara bergantian.
“Tidak, kami belum pernah bertemu. Aku hanya pernah mendengar ayahmu adalah ..... eh, Jean Daniel Lemercier yang punya banyak restoran di Prancis” jawab laki-laki dihadapannya dengan terburu-buru. Gadis berambut coklat itu terlalu bersemangat, sehingga ia tidak menyadarinya.
“O ya papa, kenalkan ini Tatsuya, dia rekan bisnis Sebastian dari jepang. Lihat, matanya berwarna abu-abu, sama seperti mataku. Sama seperti mata papa.” Gadis berambut coklat itu dengan riang memperkenalkan pria dihadapannya kepada ayahnya.
-----------
            “Jangan menyukainya” Ayah gadis berambut coklat itu berkata dengan tegas.
“Siapa papa?” gadis pirang itu tidak mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
“Tatsuya” jawab ayahnya.
“Kenapa?” gadis berambut coklat itu bingung mengapa ayahnya berkata seperti itu. Padahal ayahnya tidak mengenal Tatsuya. Lagipula, biasanya ayahnya tidak seperti ini. Ayahnya tidak pernah melarang jika ia dekat atau bahkan menyukai siapapun.
“Pokoknya, jangan menyukainya!” kata ayahnya. Kali ini dengan suara yang sedikit keras. Ia membalikkan badannya, memunggungi gadis berambut coklat.
“Tapi kenapa? Katakan padaku kenapa tidak boleh? Papa pasti punya alasan!” seru gadis berambut coklat. Dia ingin tahu mengapa ayahnya bersikap seperti ini.
Tepat saat ayahnya akan berbicara, ponsel gadis berambut coklat itu berdering. Ia tempelkan ponsel di telinga dan langsung berkata, “Sebastian, maaf. Nanti – Apa? Dia terluka? Apa yang terjadi?... Ya, ya, ya .. aku akan kesana sekarang.”
Wajah gadis berambut coklat itu berubah pucat, ayahnya berdiri disampingnya dan bertanya, “ada apa?”
“A-ada kecelakaan di lokasi proyek, Tatsuya .....” kerongkongan gadis berambut coklat itu tercekat, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Tatsuya .. laki-laki yang dilarang ayahnya untuk disukainya.
“Tatsuya kenapa?” tanya ayahnya dengan panik
“Sebastian bilang, sekarang sedang dibawa ke .... eh, rumah sakit. Aku harus kesana sekarang” dengan susah payah gadis berambut coklat itu menyelesaikan kalimatnya.
“Papa akan mengantarmu.” Jawab ayahnya. Saat itu gadis berambut coklat sudah kalut, dan tidak sempat merasa heran kenapa ayahnya juga ikut panik.
------------
Dan rahasia itupun terkuak
Gadis berambut coklat itu sampai dirumah sakit dengan diantar ayahnya. Dia menghampiri sebastian yang sedang menunggu didepan ruang perawatan. “Sebastian, bagaimana keadannya?”
“Jangan khawatir, dokter sedang bersamanya sekarang.” Jawab Sebastian berusaha menenangkannya.
Tak lama kemudian, seorang dokter dan dua perawat keluar dari ruang rawat. Gadis berambut coklat langsung menghampirinya, “Dokter Delcour, bagaimana keadaannya?”
“Tara?” dokter laurent Delcour membetulkan letak kacamatanya dan memastikan bahwa ia tidak salah melihat. Tara adalah anak dari sahabat baiknya
“Bagaimana keadaannya Laurent?” tanya Jan Daniel Duphont, ayah dari Tara, gadis berambut coklat.
Dokter itu mengarahkan pandangan kearah Jean Daniel Dupont. “Jean Daniel? Kalian mengenal pasien ini?”
Tara mengangguk cepat. Dokter Laurent tersenyum menenangkan. “Dia baik-baik saja....”
“Boleh aku melihatnya?” Tara bertanya memotong kata-kata dokter Laurent.
Dokter laurent tersenyum, “tentu saja boleh. Tetapi dia belum sadarkan diri. Biarkan dia beristirahat sebentar.”
Tanpa menunggu lagi, tara langsung saja masuk kedalam ruang perawatan. Sebastian mengikutinya. Sementara jan Daniel mengikuti dokter Laurent keruangannya.
Tatsuya terbaring ditempat tidur. Matanya terpejam. Tangan kiri dan kepalanya di balut perban. Kelihatannya Tatsuya baik-baik saja. Nafasnya teratur dan tidak ada luka mengerikan di tubuh dan wajahnya.
“Apa yang terjadi?” tara berdiri disamping ranjang Tatsuya, memperhatikannya dengan sangat seksama.
“Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Dia hanya berdiri terpaku sambil melamun. Walaupun kami sudah berteriak-teriak supaya dia menghindar, tapi dia sama sekali tidak mendengar.” Sebastian menjelaskan apa yang terjadi sehingga tatsuya harus dibawa kerumah sakit.
“Apakah tidak apa-apa dia tia tidak sadarkan diri?” Tara berkata lirih.  Matanya mulai berkaca-kaca. Ia takut membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada Tatsuya.
“Sebastian, kau masih tetap disini bukan? Aku akan bertanya kepada dokter Delcour tentang kondisinya.” Sebenarnya Tara ingin tetap berada disana. Berada disamping Tatsuya, hingga dia sadar. Tapi Tara tidak sanggup berada disana. Dia takut membayangkan hal-hal yang buruk. Dia butuh seseorang untuk meyakinkannya bahwa Tatsuya baik-baik saja.
Pintu ruang kerja dokter Laurent sedikit terbuka. Tara bisa melihat bahwa Dokter Laurent Delcour sedang berbicara dengan ayahnya, Jean Daniel Duppont. Sepertinya mereka terlibat pembicaraan yang sangat serius. Ia merasa tidak sopan jika ia mengganggunya, maka ia putuskan untuk kembali ke ruang perawatan Tatsuya dan menanyakan keadannya nanti saja. Namun, tepat saat ia membalikan tubuhnya, ia mendengar nama Tatsuya disebut.
“Jadi, Tatsuya Fujisawa itu anak Sanae Nakata?” tanya dokter Laurent dengan nada tidak percaya. Sementara diluar, tara mendengarkan pembicaraan mereka. Tara tidak mengenal Sanae Nakata. Jika memang ia adalah ibu dari Tatsuya, bagaimana ayahnya dan dokter Laurent mengenalnya? Dan mengapa ayahnya tidak mengatakannya?
“Begitulah Laurent. Dia meninggal setahun yang lalu karena kanker. Dan tatsuya mencariku, karena ingin aku membaca surat yang ditulis almarhumah ibunya.” Jelas Jean Daniel kepada dokter laurent. Tara semakin tidak mengerti. Jadi, tatsuya mencari ayahnya? Tatsuya sudah pernah bertemu ayahnya? Tapi mengapa mereka tidak pernah mengatakan apa-apa? Tara mulai merasa ada yang aneh.
“Masalahnya adalah Tara ...” Jean Daniel berkata dengan lirih.
Tara mengerjapkan matanya. Dirinya? Ada apa dengan dirinya? Tanpa disadarinya, jantungnya berdebar keras dan tangannya mengepal karena terlalu tegang.
“Ada apa dengan Tara?” Dokter delcour menyuarakan pikiran tara.
“Tara menyukainya.” Jean daniel menjawab dengan lirih. Suaranya terdengar sangat putus asa.
“Lalu? Kenapa jika Tara menyukainya?” dokter delcour tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh temannya ini.
Karena tidak mendapat jawaban dari Jean Daniel, dokter Laurent membuat kesimpulannya sendiri. “astaga teman! Jangan katakan bahwa kau keberatan karena tatsuya adalah anak dari sanae? Karena kau pernah punya hubungan dengan Sanae? Ayolah ... walau bagaimanapun, itu hanya hubungan singkat saat liburan. Walaupun aku tak mengenal Sanae, tapi aku yakin, dia tidak keberatan putrimu berhubungan dengan putranya.”
Tara menahan nafasnya. Ia terkejut mengetahui bahwa ayahnya benar-benar mengenal ibu Tatsuya. dan mereka berdua sempat punya hubungan?. Tara mendengar ayahnya tertawa sumbang. Tawa putus asa yang dipaksakan. Nyaris mirip dengusan.
“Aku juga tidak keberatan jika saja dia bukan putraku” Jawab Jean Daniel Duppont lirih.
Tara tercengang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia berbalik menjauhi pintu dengan linglung. Kakinya terlalu lemas hingga ia jatuh terduduk. Kepalanya disandarkan ke tembok. Matanya menatap kososng. Perlahan, ia mulai merangkai semuanya menjadi satu hal yang saling berkaitan.
Aku mencari cinta pertama ibuku....
Dia adalah ayahku ....
Itu yang pernah dikatakan Tatsuya
Kekagetan mereka ketika bertemu di klub La Vue
ayahmu adalah ..... eh, Jean Daniel Lemercier
Lemercier adalah nama ayah ketika masih muda. Dan setelah itu, Tatsuya mulai menjauhinya.
Jangan menyukainya
Kata-kata ayahnya terngiang jelas dikepalanya.
Dan ....
Matanya berwarna abu-abu, sama seperti mataku. Sama seperti mata papa.
Tara menekan telapak tangannya ke dada. Sakit ....
------------
Menghempaskan aku pada kenyataan
            Tara berjalan menyusuri sungai seine. Ia tidak sedang menikmati pemandangan, hanya berjalan membiarkan kaki ini melangkah tanpa arah. Degan gerakan ragu, ia keluarkan ponselnya. Ia akan menelpon ayahnya dan menanyakan tentang apa yang di dengarnya di rumah sakit. Dalam hati kecilnya tersimpan harapan rapuh bahwa apa yang di dengarnya waktu itu salah.
            “Allo” Saat mendengar suara ayahnya, tanpa sadar air matanya langsung mengalir. “Allo. Ma chèrie, ada apa?” tanya ayahnya karena tak mendapat jawaban.
            Tara mulai menangis dan suaranya tersendat-sendat. “Apa .. yang .. sudah .. papa lakukan?” tara terduduk di tepi sungai seine. Malam yang gelap membuat sungai seine terlihat kelam. Dinginnya musim gugur mulai menusuk-nusuk hingga ke tulang. Tapi Tara tidak merasakannya, yang di rasakannya hanyalah hatinya terasa begitu sakit.
            “Ma chèrie, Papa tidak mengerti.” Jean Daniel panik mendengar suara putrinya yang terisak.
            “Kenapa .. Kenapaa ..” sulit berbicara ketika sedang tersedu. “Kenapa Tatsuya ... b-bisa menjadi .... anak Papa?” Tara akhirnya mampu menyelesaikan kalimatnya. Tangisnya pun semakin pecah, air matanya terus mengalir membasahi pipinya.
            Jean Daniel terkejut mendengar pertanyaan Tara. Walaupun dia tahu, cepat atau lambat Tara pasti akan tahu, tapi ia belum siap. “Kau ada dimana sekarang?”
            “Bo-bohong kan?? Itu bohong kan Papa?” tanyanya dengan nada putus asa. “Jawab aku... Papa, katakan itu bohoongg ...”
            Jean Daniel berlari keluar ruangannya dengan ponsel masih di telinganya. “Katakan kau ada dimana. Papa akan segera ke sana dan menjemputmu. Setelah itu baru kita bicara.”
            B-bagaimana sekarang ... P-papa?” gumam Tara di sela tangisnya. “Ba-bagaimana sekarang?.. Aku harus .. bagaimana?..” ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya untuk menahan tangisnya yang semakin kencang. Belum pernah ia menangis sesedih ini. Ini pertama kalinya ia tersedu-sedu di luar kendali. Handphonenya terjatuh. Ia pun ikut terduduk di tanah, bahunya berguncang keras dan tubuhnya gemetar. Kemudian ia membisikkan pengakuannya, “Papa ... Papa ... akuu .. mencintainya.”
------------
            Sikap Tara Duppont membuat semua orang bingung. Suatu saat ia bekerja seperti biasa, berbicara seperti biasa, tertawa seperti biasa. Tetapi di lain waktu ia murung, sering melamun, dan seakan tidak sadar. Orang-orang di sekitarnya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membantunya.
            Sementara Tara kembali seperti dulu, Tatsuya Fujisawa justru berubah menjadi orang lain. Tatsuya selalu sibuk, atau sengaja menyibukkan diri. Ia bekerja tiga kali lebih keras dari sebelumnya. Tatsuya juga menjadi sangat tegang, keras, dan selalu dalam suasana hati yang buruk.
            ------------
            Tatsuya memutuskan untuk kembali ke Jepang dan tak pernah kembali lagi ke Paris. Sebelum pergi, ia mengirimkan email terakhirnya ke Je me soviens, salah satu acara radio di tempat tara bekerja. Ėlise lah yang memandu acara ini. Selama Tatsuya berada di Paris, ia selalu mengirimkan email ke acara ini. Dan berkat dia acara ini selalu mendapat rating yang tinggi.
            Pertama kali mengirimkan emailnya adalah tentang seorang wanita yang ia temui di bandara. Entah mengapa ia langsung tertarik dengan wanita itu. Malam harinya, Tatsuya bertemu lagi dengan wanita itu dalam keadaan mabuk di sebuah kafe.
            “Aku baru tiba di paris hari itu,” itulah kalimat pembuka emailnya. “Ini adalah kunjunganku yang kesekian kalinya ke Paris. Biasanya setiap kali pesawatku mendarat di bandara Charles de Gaulle, aku akan melakukan hal-hal yang sudah rutin kulakukan. Aku turun dari pesawat, mengurus imigrasi, dengan sabar menunggu bagasiku muncul di ban berjalan, setelah itu langsung keluar dari bandara tanpa melihat kiri-kanan.
            Tapi hari itu berbeda. Ketika aku akan keluar dari bandara, aku melewati sebuah kafe dan mencium aroma kopi yang enak. Untuk pertama kalinya aku tergoda untuk duduk dan menikmati secangkir kopi panas. Aku tidak tahu apa yang menarikku, tetapi aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya lelah setelah berjam-jam duduk di pesawat yang sempit.
            Kafe itu memberi kesan nyaman, dengan beberapa meja kecil dan kursi empuk. Aku memesan cafè crème dan ketika menunggu pesananku itulah sesuatu terjadi.
            Aku baru mengeluarkan handphoneku dan mulai memeriksa jadwal kerja selama di Paris ketika seseorang menyenggol koperku yang kuletakkan di lantai, disamping meja.
            “Maaf”
            Aku mendongak dan melihat seorang gadis muda sedang memperbaiki posisi koper badannya yang menyenggol koperku. Ia tersenyum sekilas untuk minta maaf. Sebelum aku sempat membalas senyumnya atau menyahut, ia sudah menjauhi mejaku sambil menarik kopernya. Ia berjalan ke meja didekat jendela kaca besar yang menghadap keluar bandara. Ia duduk danmenyilangkan kaki. Posisinya sedikit membelakangiku.
            Gadis itu... posisi duduknya... kaca jendela besar... sinar matahari menyinarinya... Aku terpesona melihat kombinasi semua itu. Dengan sinar matahari dari luar, sosok gadis itu menjadi agak kabur, gelap, dan memberikan kesan misterius.
            Kalau saja aku tidak menyadari bahwa aku sudah punya janji bertemu seseorang hari itu, aku bisa saja terus memandanginya.
            Kupikir aku tidak akan bertemu lagi dengannya. Malam itu juga. Aku bpunya janji bertemu seseorang seseorang di sebuah klub, dan aku datang terlalu cepat. Aku mengambil tempat duduk di bar yang agak ramai dan memesan minum sambil menunggu. Kemudian seseorang menghampiri bar dan berseru, “Hugo! Aku minta tequila sunrise satu lagi!”
            Aku terkejut mendapati gadis cantik di sebelahku adalah gadis yang sama yang kutemui di bandara tadi sore. Ia masih memakai pakaian yang sama: turtleneck turkois lengan panjang dan celana panjang krem.
            Kelihatannya si bartender dan gadis itu sudah saling mengenal dengan baik karena Hugo mengangkat sebelah alisnya dan menatapnya dengan tatapan curiga. Bartender itu menolak memberikan tambahan minuman, karena ia tidak ingin di pecat jika gadis itu mabuk-mabukkan di klub itu. Di tambah lagi tidak ada yang mengantarkan gadis itu pulang jika dia mabuk.
            Awalnya gadis itu bersikeras bahwa ia tidak mabuk. Tapi pada akhirnya gadis itu mengalah untuk pulang.
            Biasanya aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan orang lain, tapi entah mengapa kali itu aku menawarkan untuk memanggilkan taksi. Tapi gadis itu tersenyum dan menolaknya.
            Aku memandangi punggung gadis itu sampai ia menghilang. Harus kuakui, ada sesuatu dari gadis itu yang membuatku tertarik.”
            Cerita tatsuya itu sukses membuat para pendengar selalu menantikan email berikutnya. Mereka ingin tahu apa yang kemudian terjadi. Apakah Tatsuya mencari gadis itu? Namun, email Tatsuya berikutnya, bukanlah tentang gadis itu. Melainkan tentang Tara, yang ia beri nama gadis musim gugur. Isi emailnya selalu mengenai hal-hal kecil, namun tetap berkesan, seperti ...
            “Kalau boleh jujur, dulunya aku sama sekali tidak suka paris. Aku juga benci musim gugur. Tetapi akhir-akhir ini aku merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi... Paris berubah menjadi kota yang indah tepat didepan mataku dan musim gugur juga mulai terasa menyenangkan. Gadis itu yang membuat segalanya berubah. Dia sangat suka kota ini dan sangat suka musim gugur. Mengherankan sekali.... Aku tidak pernah menganggap diriku gampang dipengaruhi, tetapi kenapa gadis ini dengan mudahnya membuatku berubah pikiran?
            Gadis Musim gugur, bukankah kau sudah janji mau menerima ajakan kencanku? Kau punya waktu hari ini?”
....................
“Kepalaku pusing sekali hari ini. Badan juga terasa tidak enak. Semua itu karena aku terpaksa menuruti permintaannya. Dia membujukku -nyaris memaksa!- menemaninya ke Disneyland kemarin, menemaninya mencoba seluruh permainan mengerikan di sana. Kau tahu kan, jenis permainan yang membuat jantung copot, mengobrak-abrik isi perut, dan menjungkirbalikkan otak? Dengan rendah hati kuakui, aku sama sekali tidak tahan dengan permainan seperti itu. Tapi harap dicatat, aku tidak mengeluh. Setidaknya sedikit pengorbananku itu membuatnya senang.”
....................
            “Aku ingin tahu apa yang dilakukannya sekarang? Kurasa dia sedang mendengarkan radio sambil bertopang dagu dan tersenyum-senyum sendiri. Nah, sekarang ia menaikkan alisnya karena heran, lalu keningnya berkerut. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan berfikir bagaimana aku bisa menebak dengan benar. Tentu saja aku tahu. Karena aku sering memperhatikannya. Karena sering memperhatikannya, tanpa sadar aku jadi mengenal semua kebiasaannya.
            Dan kali ini, ini adalah email terakhir yang dia kirimkan.
            “Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu” Elise yang membacakan email ini berhenti. Elise tahu apa yang sebenarnya terjadi.
            “Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.
            Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja bertemu lagi di sebuah klub saat dia agak mabuk. Aku akhirnya tahu namanya pada pertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkan kami. Selama ini aku tidak percaya pada kebetulan, tapi ini seperti takdir.
            Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa sengaja – tentu saja saat itu dia tidak tahu, yang di tahu, kami bertemu pertama kali saat temannya memperkenalkan kami- dan aku memutuskan, jika setelah ini aku bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan mengajaknya keluar.
            Bintang keberuntunganku sedang bersinar terang. Aku bertemu lagi dengannya tanpa sengaja. Kali ini dia yang menghampiri dan menyapaku. Harus ku akui, aku begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemaniku ke museum.
            Benar, gadis misterius yang kutemui di bandara, dan gadis musim gugur adalah orang yang sama.
            Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku. Dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan. Kata-kataku mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. Tetapi apakah manusia bisa mengubah kenyataan?
            Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakannya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama untukku menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali melihatnya. Mungkin suatu hari nanti –aku tidak tahu kapan- rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali”
            Tepat saat itu, ponsel Tara berbunyi. Sebastian memberitahunya bahwa pesawat tatsuya baru saja lepas landas.
            “Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku.
            Aku Mencintainya”
            Saat itulah secuil kendali Tara yang rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia benamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya berguncang keras. Ia biarkan isakannya, sedu sedannya, dan air matanya tumpah keluar. Ia tidak bisa menahannya walaupun ingin. Ia hanya berharap rasa sakit dan kepedihannya akan berkurang walaupun sedikit.
            ------------
            Sebulan berlalu sejak kepulangan Tatsuya ke Jepang. Walaupun tidak bisa mengembalikan hidupnya seperti sebelum ia mengenal Tatsuya, tapi tara berusaha menjalani hari-harinya senormal mungkin.
            Segalanya berjalan baik, sampai Tara menerima telepon yang mengabarkan bahwa Tatsuya mengalami kecelakaan dan sedang mengalami kritis. Taradan Jean Daniel langsung pergi ke Jepang untuk melihat keadaan Tatsuya.
            Tatsuya jatuh dari lantai tiga gedung yang sedang dibangun. Dokter mengatakan bahwa luka dikepalanya sangat parah dan Tatsuya tidak akan mampu bertahan lebih dari 48 jam. Tapi ternyata, dia masih bisa bernafas walaupun sudah lewat tiga hari. Dokter meminta kepada Kenichi Fujisawa –suami dari ibunya Tatsuya- untuk bersiap-siap dengan keadaan yang terburuk. Tuan Kenichi yakin, bahwa tatsuya sedang menunggu ayah kandungnya yang berada di Paris, Jean Daniel. Maka dari itu Tuan Kenichi meminta bantuan tetangganya untuk menghubungi Jean Daniel dan Tara. Tuan Kenichi juga memberikan kunci apartemen Tatsuya kepada Tara.
            ------------
            Tara melangkah masuk ke apartemen Tatsuya. Dadanya berdebar dan ia merasa gugup. Ia ingin melihat sendiri bagaimana hidup Tatsuya. Ia ingin melihat apa yang di lihat Tatsuya, ingin merasakan sps yang dirasakan Tatsuya. Ia ingin memahami Tatsuya.
            Tara mengulurkan tangan dan menyentuh perabotan disana. Meja makan... kursi... sofa... rak buku... Ia mengamati setiap foto yang digantung di ruang tengah. Kebanyakan adalah foto keluarga. Tidak ada foto diri.
            Dibalik sebuah pintu geser, ada ruang kerja kecil. Sebagian besar diisi rak tinggi yang dipenuhi buku. Ada beberapa biografi orang terkenal, novel fiksi-ilmiah, namun sebagian besar buku tentang arsitektur.
            Tara berjalan keruangan lain yang hanya dibatasi dengan rak buku yang tinggi. Kamar tidur Tatsuya. Ranjang dengan seprei biru tua itu masih kusut, bekas di tiduri dan belum sempat dibereskan. Tara menghampiri lemari pakaian dua pintu, dan membukanya. Ia menyentuh setiap pakaian yang tergantung disana, berharap bisa merasakan Tatsuya.
            Merasa ia sudah nyaris larut dalam kesedihan, tara memalingkan wajah kearah meja kecil disebrang tempat tidur. Di atas meja ada laptop dalam keadaan terbuka, namun layarnya kosong, beberapa buku, dan memo. Tara menarik kursi dan duduk menghadap meja itu. Tangannya mengelus permukaan meja, lalu membuka laci dihadapannya.
            Tangannya kembali bergetar ketika melihat apa yang ada di dalam laci. Lima lembar foto. Foto-foto Tara sendiri.
            Foto pertama adalah foto dirinya yang menguap dengan sebelah tangan menutup mulut. Melihat latar belakang foto itu, Tara tau dimana foto itu di ambil. Di museè Rodin. Bersama tatsuya. Tara melihat sebaris tulisan dibalik foto itu.
            “Dia menguap ..”
            Foto kedua menunjukkan foto dirinya duduk di tepi jendela dan memandang ke luar jendela. Tara mengenali apartemen yang di tempati Tatsuya di Paris. Ia membalikkan foto itu dan membaca.
            “Melamun sambil memandangi Sungai Seine...”
            Foto ketiga. Dirinya berada di dapur apartemennya sendiri, mengangkat panci dengan dua tangan. Ia kembali membalikkan foto itu.
            “Dia pintar memasak...”
            Foto keempat adalah foto close-up dirinya yang tersenyum lebar.
            “Dia tersenyum...”
            Foto terakhir membuatnya tidak bisa bernafas. Dalam foto itu, dia melihat dirinya dan Tatsuya di Disneyland Paris. Mereka menggunakan bando berbentuk telinga Micky Mouse dan tersenyum lebar kearah kamera. Sebelah tangan Tatsuya merangkul leher Tara dan tangan yang lain memegang es krim vanila. Tatsuya terlihat tampan dan bahagia. Dengan tangan yang masih gemetar, Tara membalikkan foto itu.
            “Aku dan segala yang kuinginkan dalam hidup...”
            Tangannya terkulai lemas dan tanpa sengaja menyentuh laptop yang ada di atas meja. Layar laptop yang semula gelap pun menyala. Tara menatap layar yang mulai jelas dan samar-samar alisnya berkerut.
            To                    :           Fujisawa Tatsuya
            From               :           Sebastian Giraudeu
            Subject          :           Re: Bagaimana keadaannya?
            Tara membaca isi email tersebut, kemudian ia mulai mencari e-mail lainnya. Tanpa sadar, ia menahan nafas saat membaca daftar e-mail tersebut.
            Tangisan Tara bergema di apartemen tersebut. Tara membiarkan dirinya menangis dengan keras. Menangisi dirinya, menangisi Tatsuya, menangisi nasib, menangisi kenyataan.
            ------------
            Tara kembali kerumah sakit. Ayahnya memeluknya dan memberitahu bahwa ia sudah meminta pendapat dokter Laurent Delcour, tapi memang sudah tidak ada harapan lagi.
            Tara memasuki kawar rawat Tatsuya. Dilihatnya sosok yang terbaring tak bergerak di ranjang. Wajahnya nyaris tak terlihat jelas dibalik semua perban dan masker oksigen. Selang dan kabel menghubungkan tubuhnya ke semua mesin dan peralatan yang ada di sekitar ranjang. Monitor mesin penunjuk detak jantung menampilkan garis tidak teratur. Jantungnya masih berdetak. Ia masih hidup ...
            Tara duduk di sisi ranjang Tatsuya. “Aku ... tadi pergi ke apartemenmu” gumam Tara dengan lirih. “Apartemenmu lumayan berantakan. Tempat tidur belum di bereskan ...” Ia mengangkat wajah dan tersenyum singkat, lalu menunduk kembali karena matanya terasa perih. “Aku ... sudah melihat foto-foto itu. Danjuga membaca e-mailmu .. e-mailmu kepada Sebastian, dan e-mail Sebastian untukmu.” Air matanya menetes. Dengan cepat ia mengusap matanya.
            “Terima kasih.” Suaranya gemetar. “Terima kasih atas semua yang sudah kau lakukan untukku. Aku selalu senang bersamamu. Kau membuat segalanya menyenangkan. Saat-saat bersamamu adalah saat-saat paling membahagiakan. Aku selalu mengira saat itu bisa bertahan selamanya.” Dengan susah payah Tara mengangkat kepalanya, menatap Tatsuya. Dan matanya melebar. Sebelah mata Tatsuya yang tidak tertutup perban sepertinya basah. Tatsuya menangis.
            Air mata Tara semakin deras. “Tatsuya,” panggilnya, lalu membekap mulutnya sendiri ketika ia mulai terisak. “Jangan marah padaku kalau aku menangis sekarang. Hari ini saja. Biarkan aku menangis.” Ia menggeleng. Dengan susah payah Tara menarik nafasnya. “Dengarkan aku. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja. Mungkin butuh waktu, tapi aku akan baik-baik saja. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa. Aku janji.”
            Tara semakin terisak. Sebelah tangannya memegang lengan Tatsuya, sementara tangannya yang lain mendekap mulutnya. “Aku akan baik-baik saja” isaknya pelan. “Aku akan selalu menyayangimu.”
            Lalu Tara mendengar bunyi panjang dan datar yang membuat bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba saja ayahnya menariknya menjauh. Dan tubuh Tatsuya sudah di kerumuni oleh orang-orang berpakaian putih.
            Tara mematung. Kesadarannya seakan menghilang. Tapi air matanya mengalir deras dalam dekapan ayahnya.
            Jangan marah padaku kalau aku menangis ... hari ini saja ... kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa .. aku janji ..
------------
Epilog
Rabu, 21 November
From               :           Fujisawa Tatsuya
To                    :           Sebastian Giraudeu
Subject          :           Bagaimana keadaannya?
Sebastian, apakah dia baik-baik saja?

Kamis, 22 november
To                    :           Fujisawa Tatsuya
From               :           Sebastian Giraudeu
Subject          :           Re: Bagaimana keadaannya?
            Tara baik-baik saja walaupun masih murung. Dia masih sangat sedih, tapi wajar saja menurutku. Sejak kau pergi, dia mengurung diri di apartemennya selama dua hari. Tidak bekerja dan menolak bicara. Tapi setelah itu dia membaik. Dia sudah kembali bekerja. Tentu saja kadang-kadang masih pendiam dan suka melamun, tapi dia baik-baik saja. Kau tidak usah khawatir.
            Kamis, 29 November
From               :           Fujisawa Tatsuya
            To                    :           Sebastian Giraudeu
            Subject          :           None
            Sahabatkku yang baik, bagaimana keadaannya sekarang? Ngomong-ngomong, kau tidak memberitahunya tentang ini, bukan?

            Jumat, 30 November
To                    :           Fujisawa Tatsuya
            From               :           Sebastian Giraudeu
            Subject          :           Re: Bagaimana keadaannya?
            Kau tahu betapa susahnya aku merahasiakan sesuatu darinya? Tapi kau tenang saja teman, Tara sekali tidak tahu aku sudah menjadi semacam mata-mata tidak resmi bagimu.
            Tara sekarang ini sedang pergi berbelanja bersama Ėlise. Malam nanti kami ada janji makan malam bersama. Oh, dia sudah semakin ceria. Dia sudah tertawa seperti dulu. Dan kalau kau ingin tahu, dia juga sudah makan tepat waktu. Dia sangat sehat. Tidak sakit apapun.

            Minggu, 02 Desember
            From               :           Fujisawa Tatsuya
            To                    :           Sebastian Giraudeu
            Subject          :           Trims
            Maafkan kalau aku memintamu menjadi “mata-mata”. Aku lega mendengar dia baik-baik saja. Dia sangat beruntung punya teman sepertimu.
            Terima kasih, Sebastian.

            Senin, 03 Desember
To                    :           Fujisawa Tatsuya
            From               :           Sebastian Giraudeu
            Subject          :           Kau sendiri?
            Hei, aku sama sekali tidak keberatan menjadi mata-mata. Aku tahu kau mencemaskan tara, sama seperti kami disini. Tapi kau tentu sudah tahu, Tara itu gadis yang kuat. Dia pasti bisa bertahan.
            Bagaimana denganmu sendiri? Kau baik-baik saja?

            Tatsuya terpekur menatap laptop-nya. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan membaca e-mail dari Sebastian berulang-ulang, khusunya kalimat terakhir. Apakah dirinya baik-baik saja setelah meninggalkan paris dan kembali ke kehidupan normalnya di Tokyo?
            Kehidupan normal ...? kehidupan normal itu seperti apa...? ia sudah lupa.
            Ia teringat permohonan yang dibuatnya ketika merayakan ulang tahunnya bersama Tara dulu. Gadis itu memaksanya mengucapkan permohonan. Katanya permohonan saat ulang tahun akan terkabul.
            Saat itu Tatsuya punya banyak permohonan yang ia tahu tidak akan bisa terkabul. Kenyataan tidak akan bisa diubah. Tetapi ketika ia memandang Tara dan melihatnya tersenyum, ia tahu apa yang diinginkannya.
            Sekarang ini ia hanya punya satu keinginan di atas segalanya. Satu permohonan.
            Ia ingin Tara Duppont selalu bahagia. Walaupun itu berarti ia harus menyerahkan seluruh hidupnya.
            Tatsuya menatap layar laptop dan mulai mengetik.
From               :           Fujisawa Tatsuya
            To                    :           Sebastian Giraudeu
            Subject          :           Re: Kau sendiri?
            Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar