Dilihatnya
sosok yang terbaring tak bergerak di ranjang. Wajahnya nyaris tak terlihat
jelas dibalik semua perban dan masker oksigen. Selang dan kabel menghubungkan
tubuhnya ke semua mesin dan peralatan yang ada di sekitar ranjang. Monitor
mesin penunjuk detak jantung menampilkan garis tidak teratur. Jantungnya masih
berdetak. Ia masih hidup ...
---------
Kita
memiliki mata yang sama.
Berdiri
di puncak Arc de Triomphe dan memandangi kota paris dari ketinggian,
benar-benar memberikan rasa yang tenang. Seluruh beban di dadanya selama
seminggu ini, benar-benar membuatnya sesak. Sambil memejamkan mata, ia biarkan
seluruh sesak itu berhembus bersama angin yang menerpa wajahnya, dan membuat
rambut coklatnya berkibar-kibar.
“Di
sini kau rupanya” sebuah suara mengejutkannya. Suara yang sangat dirindukannya.
Suara yang membuat hari-harinya menjadi begitu indah. Suara yang membuat
mimpinya menjadi berwarna.
“Kau
tau, aku sudah berlari keliling paris untuk mencarimu. Ternyata kau malah
sedang asik melamun di sini.” Laki-laki ini tersenyum dengan manisnya.
Memamerkan deretan gigi putihnya. Senyum yang indah, senyum yang sangat
dirindukannya.
“Apa
yang sedang kau lihat?” pria itu kembali bertanya. Suaranya sangat khas. Suara
yang sangat merdu untuk didengar. Suara yang selama ini menyanyikan lagu-lagu
indah untuknya.
Pria
itu menatapnya, dengan tatapan mata yang lembut dan teduh. “jangan menatapku
seperti itu. Saat melihat matamu, aku selalu merasa seperti sedang bercermin.
Karena kita memiliki mata yang sama.”
Matahari
tenggelam di balik puncak Arc de Triomphe. Membungkus kota paris dengan warna
jingga. Burung-burung camar terbang beriringan menghampiri matahari. Dan
malampun siap membungkus kota paris.
---------
Mata
berwarna abu-abu
“Hari
ini aku akan menjadi guide untukmu. Tempat apa yang ingin kau kunjungi? Katakan
saja, nanti aku akan mengantarkanmu kesana.” Gadis berambut coklat itu
berbicara dengan riang. Suasana hatinya sedang cerah, seperti matahari yang
malu-malu menyinari kota paris. Dimusim gugur seperti ini, matahari memang
tidak bersinar terik, tapi cukup cerah untuk menghabiskan hari diluar rumah.
“Aku
tau kau sangat menyukai museum seni. Di paris ada banyak museum. Ada louvre,
Musèe Rodin, Musèe d’Orsay, dan lain-lain. Kau mau kemana dulu?” gadis itu
tersenyum dengan manis. Lesung pipit di kiri wajahnya membuat senyumnya
benar-benar manis. Dan dia memiliki senyum yang menular. Membuat siapapun yang
melihatnya menjadi ikut tersenyum.
Berjalan-jalan
sore di Jardin du Luxembourg memang menyenangkan. Melihat dedaunan yang mulai
menguning di musim gugur. Menginjak daun-daun kering yang menutupi jalan. “Hei,
aku baru sadar warna matamu abu-abu. Sama seperti aku. Kau lihat? Mataku juga
abu-abu.”
---------------
Mata Ayah
La
Vue, salah satu klub malam paling besar dan paling terkenal di Paris. Klub
malam ini tidak pernah sepi, apalagi dimalam libur seperti ini. Banyak remaja
yang menghabiskan malamnya di tempat ini.
Elise,
teman wanita dari gadis berambut coklat itu mengadakan pesta ulang tahunnya
ditempat ini. Dia hanya mengundang 2 orang teman dekatnya saja untuk ditraktir
minum. Tapi, acara ini lebih mirip triple date dibanding pesta ulang tahun.
Malam
semakin larut, dan suasana semakin meriah. Seorang pria bertubuh tinggi dan
berambut coklat menghampiri meja mereka.
“Papa
....” gadis berambut coklat itu berseru dengan riangnya. Gadis pirang itu kini
berdiri disamping pria berambut coklat, dan menghadap keteman-temannya.
“Hello
ma chèrie ..” kata pria itu sambil merangkul gadis berambut coklat.
“Teman-teman,
bagi kalian yang belum pernah melihat ayahku, ini dia, pemilik klub yang keren
ini ..” gadis pirang itu memperkenalkan ayahnya dengan bangga.
“Monsieur
....” tanpa sadar seorang laki-laki di meja itu berbisik.
“Kalian
berdua sudah saling mengenal?” gadis berambut coklat itu menatap laki-laki di
hadapannya dan ayahnya secara bergantian.
“Tidak,
kami belum pernah bertemu. Aku hanya pernah mendengar ayahmu adalah ..... eh,
Jean Daniel Lemercier yang punya banyak restoran di Prancis” jawab laki-laki
dihadapannya dengan terburu-buru. Gadis berambut coklat itu terlalu
bersemangat, sehingga ia tidak menyadarinya.
“O
ya papa, kenalkan ini Tatsuya, dia rekan bisnis Sebastian dari jepang. Lihat, matanya
berwarna abu-abu, sama seperti mataku. Sama seperti mata papa.” Gadis berambut
coklat itu dengan riang memperkenalkan pria dihadapannya kepada ayahnya.
-----------
“Jangan
menyukainya” Ayah gadis berambut coklat itu berkata dengan tegas.
“Siapa
papa?” gadis pirang itu tidak mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
“Tatsuya”
jawab ayahnya.
“Kenapa?”
gadis berambut coklat itu bingung mengapa ayahnya berkata seperti itu. Padahal
ayahnya tidak mengenal Tatsuya. Lagipula, biasanya ayahnya tidak seperti ini.
Ayahnya tidak pernah melarang jika ia dekat atau bahkan menyukai siapapun.
“Pokoknya,
jangan menyukainya!” kata ayahnya. Kali ini dengan suara yang sedikit keras. Ia
membalikkan badannya, memunggungi gadis berambut coklat.
“Tapi
kenapa? Katakan padaku kenapa tidak boleh? Papa pasti punya alasan!” seru gadis
berambut coklat. Dia ingin tahu mengapa ayahnya bersikap seperti ini.
Tepat
saat ayahnya akan berbicara, ponsel gadis berambut coklat itu berdering. Ia
tempelkan ponsel di telinga dan langsung berkata, “Sebastian, maaf. Nanti –
Apa? Dia terluka? Apa yang terjadi?... Ya, ya, ya .. aku akan kesana sekarang.”
Wajah
gadis berambut coklat itu berubah pucat, ayahnya berdiri disampingnya dan
bertanya, “ada apa?”
“A-ada
kecelakaan di lokasi proyek, Tatsuya .....” kerongkongan gadis berambut coklat
itu tercekat, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Tatsuya ..
laki-laki yang dilarang ayahnya untuk disukainya.
“Tatsuya
kenapa?” tanya ayahnya dengan panik
“Sebastian
bilang, sekarang sedang dibawa ke .... eh, rumah sakit. Aku harus kesana
sekarang” dengan susah payah gadis berambut coklat itu menyelesaikan
kalimatnya.
“Papa
akan mengantarmu.” Jawab ayahnya. Saat itu gadis berambut coklat sudah kalut,
dan tidak sempat merasa heran kenapa ayahnya juga ikut panik.
------------
Dan
rahasia itupun terkuak
Gadis
berambut coklat itu sampai dirumah sakit dengan diantar ayahnya. Dia
menghampiri sebastian yang sedang menunggu didepan ruang perawatan. “Sebastian,
bagaimana keadannya?”
“Jangan
khawatir, dokter sedang bersamanya sekarang.” Jawab Sebastian berusaha
menenangkannya.
Tak
lama kemudian, seorang dokter dan dua perawat keluar dari ruang rawat. Gadis
berambut coklat langsung menghampirinya, “Dokter Delcour, bagaimana
keadaannya?”
“Tara?”
dokter laurent Delcour membetulkan letak kacamatanya dan memastikan bahwa ia
tidak salah melihat. Tara adalah anak dari sahabat baiknya
“Bagaimana
keadaannya Laurent?” tanya Jan Daniel Duphont, ayah dari Tara, gadis berambut
coklat.
Dokter
itu mengarahkan pandangan kearah Jean Daniel Dupont. “Jean Daniel? Kalian
mengenal pasien ini?”
Tara
mengangguk cepat. Dokter Laurent tersenyum menenangkan. “Dia baik-baik saja....”
“Boleh
aku melihatnya?” Tara bertanya memotong kata-kata dokter Laurent.
Dokter
laurent tersenyum, “tentu saja boleh. Tetapi dia belum sadarkan diri. Biarkan
dia beristirahat sebentar.”
Tanpa
menunggu lagi, tara langsung saja masuk kedalam ruang perawatan. Sebastian
mengikutinya. Sementara jan Daniel mengikuti dokter Laurent keruangannya.
Tatsuya
terbaring ditempat tidur. Matanya terpejam. Tangan kiri dan kepalanya di balut
perban. Kelihatannya Tatsuya baik-baik saja. Nafasnya teratur dan tidak ada
luka mengerikan di tubuh dan wajahnya.
“Apa
yang terjadi?” tara berdiri disamping ranjang Tatsuya, memperhatikannya dengan
sangat seksama.
“Entah
apa yang dipikirkannya saat itu. Dia hanya berdiri terpaku sambil melamun.
Walaupun kami sudah berteriak-teriak supaya dia menghindar, tapi dia sama
sekali tidak mendengar.” Sebastian menjelaskan apa yang terjadi sehingga
tatsuya harus dibawa kerumah sakit.
“Apakah
tidak apa-apa dia tia tidak sadarkan diri?” Tara berkata lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia takut
membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada Tatsuya.
“Sebastian,
kau masih tetap disini bukan? Aku akan bertanya kepada dokter Delcour tentang
kondisinya.” Sebenarnya Tara ingin tetap berada disana. Berada disamping
Tatsuya, hingga dia sadar. Tapi Tara tidak sanggup berada disana. Dia takut
membayangkan hal-hal yang buruk. Dia butuh seseorang untuk meyakinkannya bahwa
Tatsuya baik-baik saja.
Pintu
ruang kerja dokter Laurent sedikit terbuka. Tara bisa melihat bahwa Dokter
Laurent Delcour sedang berbicara dengan ayahnya, Jean Daniel Duppont.
Sepertinya mereka terlibat pembicaraan yang sangat serius. Ia merasa tidak
sopan jika ia mengganggunya, maka ia putuskan untuk kembali ke ruang perawatan
Tatsuya dan menanyakan keadannya nanti saja. Namun, tepat saat ia membalikan
tubuhnya, ia mendengar nama Tatsuya disebut.
“Jadi,
Tatsuya Fujisawa itu anak Sanae Nakata?” tanya dokter Laurent dengan nada tidak
percaya. Sementara diluar, tara mendengarkan pembicaraan mereka. Tara tidak
mengenal Sanae Nakata. Jika memang ia adalah ibu dari Tatsuya, bagaimana
ayahnya dan dokter Laurent mengenalnya? Dan mengapa ayahnya tidak
mengatakannya?
“Begitulah
Laurent. Dia meninggal setahun yang lalu karena kanker. Dan tatsuya mencariku,
karena ingin aku membaca surat yang ditulis almarhumah ibunya.” Jelas Jean Daniel
kepada dokter laurent. Tara semakin tidak mengerti. Jadi, tatsuya mencari
ayahnya? Tatsuya sudah pernah bertemu ayahnya? Tapi mengapa mereka tidak pernah
mengatakan apa-apa? Tara mulai merasa ada yang aneh.
“Masalahnya
adalah Tara ...” Jean Daniel berkata dengan lirih.
Tara
mengerjapkan matanya. Dirinya? Ada apa dengan dirinya? Tanpa disadarinya,
jantungnya berdebar keras dan tangannya mengepal karena terlalu tegang.
“Ada
apa dengan Tara?” Dokter delcour menyuarakan pikiran tara.
“Tara
menyukainya.” Jean daniel menjawab dengan lirih. Suaranya terdengar sangat
putus asa.
“Lalu?
Kenapa jika Tara menyukainya?” dokter delcour tidak mengerti tentang apa yang
sebenarnya ingin dikatakan oleh temannya ini.
Karena
tidak mendapat jawaban dari Jean Daniel, dokter Laurent membuat kesimpulannya
sendiri. “astaga teman! Jangan katakan bahwa kau keberatan karena tatsuya
adalah anak dari sanae? Karena kau pernah punya hubungan dengan Sanae? Ayolah
... walau bagaimanapun, itu hanya hubungan singkat saat liburan. Walaupun aku
tak mengenal Sanae, tapi aku yakin, dia tidak keberatan putrimu berhubungan
dengan putranya.”
Tara
menahan nafasnya. Ia terkejut mengetahui bahwa ayahnya benar-benar mengenal ibu
Tatsuya. dan mereka berdua sempat punya hubungan?. Tara mendengar ayahnya
tertawa sumbang. Tawa putus asa yang dipaksakan. Nyaris mirip dengusan.
“Aku
juga tidak keberatan jika saja dia bukan putraku” Jawab Jean Daniel Duppont
lirih.
Tara
tercengang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia
berbalik menjauhi pintu dengan linglung. Kakinya terlalu lemas hingga ia jatuh
terduduk. Kepalanya disandarkan ke tembok. Matanya menatap kososng. Perlahan,
ia mulai merangkai semuanya menjadi satu hal yang saling berkaitan.
Aku
mencari cinta pertama ibuku....
Dia
adalah ayahku ....
Itu
yang pernah dikatakan Tatsuya
Kekagetan
mereka ketika bertemu di klub La Vue
ayahmu
adalah ..... eh, Jean Daniel Lemercier
Lemercier
adalah nama ayah ketika masih muda. Dan setelah itu, Tatsuya mulai menjauhinya.
Jangan
menyukainya
Kata-kata
ayahnya terngiang jelas dikepalanya.
Dan
....
Matanya
berwarna abu-abu, sama seperti mataku. Sama seperti mata papa.
Tara
menekan telapak tangannya ke dada. Sakit ....
------------
Menghempaskan
aku pada kenyataan
Tara berjalan menyusuri sungai
seine. Ia tidak sedang menikmati pemandangan, hanya berjalan membiarkan kaki
ini melangkah tanpa arah. Degan gerakan ragu, ia keluarkan ponselnya. Ia akan
menelpon ayahnya dan menanyakan tentang apa yang di dengarnya di rumah sakit. Dalam
hati kecilnya tersimpan harapan rapuh bahwa apa yang di dengarnya waktu itu
salah.
“Allo” Saat mendengar suara ayahnya,
tanpa sadar air matanya langsung mengalir. “Allo. Ma chèrie, ada apa?” tanya
ayahnya karena tak mendapat jawaban.
Tara mulai menangis dan suaranya
tersendat-sendat. “Apa .. yang .. sudah .. papa lakukan?” tara terduduk di tepi
sungai seine. Malam yang gelap membuat sungai seine terlihat kelam. Dinginnya
musim gugur mulai menusuk-nusuk hingga ke tulang. Tapi Tara tidak merasakannya,
yang di rasakannya hanyalah hatinya terasa begitu sakit.
“Ma chèrie, Papa tidak mengerti.”
Jean Daniel panik mendengar suara putrinya yang terisak.
“Kenapa .. Kenapaa ..” sulit
berbicara ketika sedang tersedu. “Kenapa Tatsuya ... b-bisa menjadi .... anak
Papa?” Tara akhirnya mampu menyelesaikan kalimatnya. Tangisnya pun semakin
pecah, air matanya terus mengalir membasahi pipinya.
Jean Daniel terkejut mendengar
pertanyaan Tara. Walaupun dia tahu, cepat atau lambat Tara pasti akan tahu,
tapi ia belum siap. “Kau ada dimana sekarang?”
“Bo-bohong kan?? Itu bohong kan
Papa?” tanyanya dengan nada putus asa. “Jawab aku... Papa, katakan itu bohoongg
...”
Jean Daniel berlari keluar
ruangannya dengan ponsel masih di telinganya. “Katakan kau ada dimana. Papa
akan segera ke sana dan menjemputmu. Setelah itu baru kita bicara.”
B-bagaimana sekarang ... P-papa?”
gumam Tara di sela tangisnya. “Ba-bagaimana sekarang?.. Aku harus ..
bagaimana?..” ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya untuk menahan
tangisnya yang semakin kencang. Belum pernah ia menangis sesedih ini. Ini
pertama kalinya ia tersedu-sedu di luar kendali. Handphonenya terjatuh. Ia pun
ikut terduduk di tanah, bahunya berguncang keras dan tubuhnya gemetar. Kemudian
ia membisikkan pengakuannya, “Papa ... Papa ... akuu .. mencintainya.”
------------
Sikap Tara Duppont membuat semua
orang bingung. Suatu saat ia bekerja seperti biasa, berbicara seperti biasa,
tertawa seperti biasa. Tetapi di lain waktu ia murung, sering melamun, dan
seakan tidak sadar. Orang-orang di sekitarnya tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan untuk membantunya.
Sementara Tara kembali seperti dulu,
Tatsuya Fujisawa justru berubah menjadi orang lain. Tatsuya selalu sibuk, atau
sengaja menyibukkan diri. Ia bekerja tiga kali lebih keras dari sebelumnya.
Tatsuya juga menjadi sangat tegang, keras, dan selalu dalam suasana hati yang
buruk.
------------
Tatsuya memutuskan untuk kembali ke
Jepang dan tak pernah kembali lagi ke Paris. Sebelum pergi, ia mengirimkan
email terakhirnya ke Je me soviens,
salah satu acara radio di tempat tara bekerja. Ėlise lah yang memandu acara
ini. Selama Tatsuya berada di Paris, ia selalu mengirimkan email ke acara ini.
Dan berkat dia acara ini selalu mendapat rating yang tinggi.
Pertama kali mengirimkan emailnya
adalah tentang seorang wanita yang ia temui di bandara. Entah mengapa ia
langsung tertarik dengan wanita itu. Malam harinya, Tatsuya bertemu lagi dengan
wanita itu dalam keadaan mabuk di sebuah kafe.
“Aku
baru tiba di paris hari itu,” itulah kalimat pembuka emailnya. “Ini adalah kunjunganku yang kesekian
kalinya ke Paris. Biasanya setiap kali pesawatku mendarat di bandara Charles de
Gaulle, aku akan melakukan hal-hal yang sudah rutin kulakukan. Aku turun dari
pesawat, mengurus imigrasi, dengan sabar menunggu bagasiku muncul di ban
berjalan, setelah itu langsung keluar dari bandara tanpa melihat kiri-kanan.
Tapi
hari itu berbeda. Ketika aku akan keluar dari bandara, aku melewati sebuah kafe
dan mencium aroma kopi yang enak. Untuk pertama kalinya aku tergoda untuk duduk
dan menikmati secangkir kopi panas. Aku tidak tahu apa yang menarikku, tetapi
aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya lelah setelah berjam-jam duduk di
pesawat yang sempit.
Kafe
itu memberi kesan nyaman, dengan beberapa meja kecil dan kursi empuk. Aku
memesan cafè crème dan ketika menunggu pesananku itulah sesuatu
terjadi.
Aku
baru mengeluarkan handphoneku dan mulai memeriksa jadwal kerja selama di Paris
ketika seseorang menyenggol koperku yang kuletakkan di lantai, disamping meja.
“Maaf”
Aku
mendongak dan melihat seorang gadis muda sedang memperbaiki posisi koper
badannya yang menyenggol koperku. Ia tersenyum sekilas untuk minta maaf.
Sebelum aku sempat membalas senyumnya atau menyahut, ia sudah menjauhi mejaku
sambil menarik kopernya. Ia berjalan ke meja didekat jendela kaca besar yang
menghadap keluar bandara. Ia duduk danmenyilangkan kaki. Posisinya sedikit
membelakangiku.
Gadis
itu... posisi duduknya... kaca jendela besar... sinar matahari menyinarinya...
Aku terpesona melihat kombinasi semua itu. Dengan sinar matahari dari luar,
sosok gadis itu menjadi agak kabur, gelap, dan memberikan kesan misterius.
Kalau
saja aku tidak menyadari bahwa aku sudah punya janji bertemu seseorang hari
itu, aku bisa saja terus memandanginya.
Kupikir
aku tidak akan bertemu lagi dengannya. Malam itu juga. Aku bpunya janji bertemu
seseorang seseorang di sebuah klub, dan aku datang terlalu cepat. Aku mengambil
tempat duduk di bar yang agak ramai dan memesan minum sambil menunggu. Kemudian
seseorang menghampiri bar dan berseru, “Hugo! Aku minta tequila sunrise satu lagi!”
Aku
terkejut mendapati gadis cantik di sebelahku adalah gadis yang sama yang
kutemui di bandara tadi sore. Ia masih memakai pakaian yang sama: turtleneck turkois lengan panjang dan
celana panjang krem.
Kelihatannya
si bartender dan gadis itu sudah saling mengenal dengan baik karena Hugo
mengangkat sebelah alisnya dan menatapnya dengan tatapan curiga. Bartender itu
menolak memberikan tambahan minuman, karena ia tidak ingin di pecat jika gadis
itu mabuk-mabukkan di klub itu. Di tambah lagi tidak ada yang mengantarkan
gadis itu pulang jika dia mabuk.
Awalnya
gadis itu bersikeras bahwa ia tidak mabuk. Tapi pada akhirnya gadis itu
mengalah untuk pulang.
Biasanya
aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan orang lain, tapi entah mengapa
kali itu aku menawarkan untuk memanggilkan taksi. Tapi gadis itu tersenyum dan
menolaknya.
Aku
memandangi punggung gadis itu sampai ia menghilang. Harus kuakui, ada sesuatu
dari gadis itu yang membuatku tertarik.”
Cerita tatsuya itu sukses membuat
para pendengar selalu menantikan email berikutnya. Mereka ingin tahu apa yang kemudian
terjadi. Apakah Tatsuya mencari gadis itu? Namun, email Tatsuya berikutnya,
bukanlah tentang gadis itu. Melainkan tentang Tara, yang ia beri nama gadis
musim gugur. Isi emailnya selalu mengenai hal-hal kecil, namun tetap berkesan,
seperti ...
“Kalau
boleh jujur, dulunya aku sama sekali tidak suka paris. Aku juga benci musim
gugur. Tetapi akhir-akhir ini aku merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi...
Paris berubah menjadi kota yang indah tepat didepan mataku dan musim gugur juga
mulai terasa menyenangkan. Gadis itu yang membuat segalanya berubah. Dia sangat
suka kota ini dan sangat suka musim gugur. Mengherankan sekali.... Aku tidak
pernah menganggap diriku gampang dipengaruhi, tetapi kenapa gadis ini dengan
mudahnya membuatku berubah pikiran?
Gadis
Musim gugur, bukankah kau sudah janji mau menerima ajakan kencanku? Kau punya
waktu hari ini?”
....................
“Kepalaku pusing sekali hari
ini. Badan juga terasa tidak enak. Semua itu karena aku terpaksa menuruti
permintaannya. Dia membujukku -nyaris memaksa!- menemaninya ke Disneyland
kemarin, menemaninya mencoba seluruh permainan mengerikan di sana. Kau tahu
kan, jenis permainan yang membuat jantung copot, mengobrak-abrik isi perut, dan
menjungkirbalikkan otak? Dengan rendah hati kuakui, aku sama sekali tidak tahan
dengan permainan seperti itu. Tapi harap dicatat, aku tidak mengeluh.
Setidaknya sedikit pengorbananku itu membuatnya senang.”
....................
“Aku
ingin tahu apa yang dilakukannya sekarang? Kurasa dia sedang mendengarkan radio
sambil bertopang dagu dan tersenyum-senyum sendiri. Nah, sekarang ia menaikkan
alisnya karena heran, lalu keningnya berkerut. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya
dan berfikir bagaimana aku bisa menebak dengan benar. Tentu saja aku tahu.
Karena aku sering memperhatikannya. Karena sering memperhatikannya, tanpa sadar
aku jadi mengenal semua kebiasaannya.
Dan kali ini, ini adalah email
terakhir yang dia kirimkan.
“Apakah
ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai?
Aku tahu” Elise yang
membacakan email ini berhenti. Elise tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku
memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Dan
tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam
hidupku.
Aku
pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja
bertemu lagi di sebuah klub saat dia agak mabuk. Aku akhirnya tahu namanya pada
pertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkan kami. Selama
ini aku tidak percaya pada kebetulan, tapi ini seperti takdir.
Saat
itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku
bertemu dengannya tanpa sengaja – tentu saja saat itu dia tidak tahu, yang di
tahu, kami bertemu pertama kali saat temannya memperkenalkan kami- dan aku
memutuskan, jika setelah ini aku bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan
mengajaknya keluar.
Bintang
keberuntunganku sedang bersinar terang. Aku bertemu lagi dengannya tanpa
sengaja. Kali ini dia yang menghampiri dan menyapaku. Harus ku akui, aku begitu
terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati janjiku
sendiri. Aku pun mengajaknya menemaniku ke museum.
Benar,
gadis misterius yang kutemui di bandara, dan gadis musim gugur adalah orang
yang sama.
Hidup
ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi
langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku
menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan
berteriak di telingaku. Dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh
kudapatkan. Kata-kataku mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah,
aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. Tetapi
apakah manusia bisa mengubah kenyataan?
Satu-satunya
yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan
melupakannya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu
berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh
waktu lama untukku menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali
melihatnya. Mungkin suatu hari nanti –aku tidak tahu kapan- rasa sakit ini akan
hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali”
Tepat saat itu, ponsel Tara
berbunyi. Sebastian memberitahunya bahwa pesawat tatsuya baru saja lepas
landas.
“Sekarang...
Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin
melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar
belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku.
Aku
Mencintainya”
Saat itulah secuil kendali Tara yang
rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia benamkan
wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya berguncang
keras. Ia biarkan isakannya, sedu sedannya, dan air matanya tumpah keluar. Ia
tidak bisa menahannya walaupun ingin. Ia hanya berharap rasa sakit dan kepedihannya
akan berkurang walaupun sedikit.
------------
Sebulan berlalu sejak kepulangan
Tatsuya ke Jepang. Walaupun tidak bisa mengembalikan hidupnya seperti sebelum
ia mengenal Tatsuya, tapi tara berusaha menjalani hari-harinya senormal
mungkin.
Segalanya berjalan baik, sampai Tara
menerima telepon yang mengabarkan bahwa Tatsuya mengalami kecelakaan dan sedang
mengalami kritis. Taradan Jean Daniel langsung pergi ke Jepang untuk melihat
keadaan Tatsuya.
Tatsuya jatuh dari lantai tiga
gedung yang sedang dibangun. Dokter mengatakan bahwa luka dikepalanya sangat
parah dan Tatsuya tidak akan mampu bertahan lebih dari 48 jam. Tapi ternyata,
dia masih bisa bernafas walaupun sudah lewat tiga hari. Dokter meminta kepada
Kenichi Fujisawa –suami dari ibunya Tatsuya- untuk bersiap-siap dengan keadaan
yang terburuk. Tuan Kenichi yakin, bahwa tatsuya sedang menunggu ayah
kandungnya yang berada di Paris, Jean Daniel. Maka dari itu Tuan Kenichi
meminta bantuan tetangganya untuk menghubungi Jean Daniel dan Tara. Tuan Kenichi
juga memberikan kunci apartemen Tatsuya kepada Tara.
------------
Tara melangkah masuk ke apartemen
Tatsuya. Dadanya berdebar dan ia merasa gugup. Ia ingin melihat sendiri
bagaimana hidup Tatsuya. Ia ingin melihat apa yang di lihat Tatsuya, ingin merasakan
sps yang dirasakan Tatsuya. Ia ingin memahami Tatsuya.
Tara mengulurkan tangan dan
menyentuh perabotan disana. Meja makan... kursi... sofa... rak buku... Ia
mengamati setiap foto yang digantung di ruang tengah. Kebanyakan adalah foto
keluarga. Tidak ada foto diri.
Dibalik sebuah pintu geser, ada
ruang kerja kecil. Sebagian besar diisi rak tinggi yang dipenuhi buku. Ada
beberapa biografi orang terkenal, novel fiksi-ilmiah, namun sebagian besar buku
tentang arsitektur.
Tara berjalan keruangan lain yang
hanya dibatasi dengan rak buku yang tinggi. Kamar tidur Tatsuya. Ranjang dengan
seprei biru tua itu masih kusut, bekas di tiduri dan belum sempat dibereskan.
Tara menghampiri lemari pakaian dua pintu, dan membukanya. Ia menyentuh setiap
pakaian yang tergantung disana, berharap bisa merasakan Tatsuya.
Merasa ia sudah nyaris larut dalam
kesedihan, tara memalingkan wajah kearah meja kecil disebrang tempat tidur. Di
atas meja ada laptop dalam keadaan terbuka, namun layarnya kosong, beberapa
buku, dan memo. Tara menarik kursi dan duduk menghadap meja itu. Tangannya
mengelus permukaan meja, lalu membuka laci dihadapannya.
Tangannya kembali bergetar ketika
melihat apa yang ada di dalam laci. Lima lembar foto. Foto-foto Tara sendiri.
Foto pertama adalah foto dirinya
yang menguap dengan sebelah tangan menutup mulut. Melihat latar belakang foto
itu, Tara tau dimana foto itu di ambil. Di museè Rodin. Bersama tatsuya. Tara
melihat sebaris tulisan dibalik foto itu.
“Dia
menguap ..”
Foto kedua menunjukkan foto dirinya
duduk di tepi jendela dan memandang ke luar jendela. Tara mengenali apartemen
yang di tempati Tatsuya di Paris. Ia membalikkan foto itu dan membaca.
“Melamun
sambil memandangi Sungai Seine...”
Foto ketiga. Dirinya berada di dapur
apartemennya sendiri, mengangkat panci dengan dua tangan. Ia kembali
membalikkan foto itu.
“Dia
pintar memasak...”
Foto keempat adalah foto close-up dirinya yang tersenyum lebar.
“Dia
tersenyum...”
Foto terakhir membuatnya tidak bisa
bernafas. Dalam foto itu, dia melihat dirinya dan Tatsuya di Disneyland Paris. Mereka
menggunakan bando berbentuk telinga Micky Mouse dan tersenyum lebar kearah
kamera. Sebelah tangan Tatsuya merangkul leher Tara dan tangan yang lain memegang
es krim vanila. Tatsuya terlihat tampan dan bahagia. Dengan tangan yang masih
gemetar, Tara membalikkan foto itu.
“Aku
dan segala yang kuinginkan dalam hidup...”
Tangannya terkulai lemas dan tanpa
sengaja menyentuh laptop yang ada di atas meja. Layar laptop yang semula gelap
pun menyala. Tara menatap layar yang mulai jelas dan samar-samar alisnya
berkerut.
To : Fujisawa Tatsuya
From : Sebastian Giraudeu
Subject : Re:
Bagaimana keadaannya?
Tara membaca isi email tersebut,
kemudian ia mulai mencari e-mail lainnya. Tanpa sadar, ia menahan nafas saat
membaca daftar e-mail tersebut.
Tangisan Tara bergema di apartemen
tersebut. Tara membiarkan dirinya menangis dengan keras. Menangisi dirinya,
menangisi Tatsuya, menangisi nasib, menangisi kenyataan.
------------
Tara kembali kerumah sakit. Ayahnya
memeluknya dan memberitahu bahwa ia sudah meminta pendapat dokter Laurent
Delcour, tapi memang sudah tidak ada harapan lagi.
Tara memasuki kawar rawat Tatsuya.
Dilihatnya sosok yang terbaring tak bergerak di ranjang. Wajahnya nyaris tak
terlihat jelas dibalik semua perban dan masker oksigen. Selang dan kabel
menghubungkan tubuhnya ke semua mesin dan peralatan yang ada di sekitar
ranjang. Monitor mesin penunjuk detak jantung menampilkan garis tidak teratur.
Jantungnya masih berdetak. Ia masih hidup ...
Tara duduk di sisi ranjang Tatsuya.
“Aku ... tadi pergi ke apartemenmu” gumam Tara dengan lirih. “Apartemenmu
lumayan berantakan. Tempat tidur belum di bereskan ...” Ia mengangkat wajah dan
tersenyum singkat, lalu menunduk kembali karena matanya terasa perih. “Aku ...
sudah melihat foto-foto itu. Danjuga membaca e-mailmu .. e-mailmu kepada
Sebastian, dan e-mail Sebastian untukmu.” Air matanya menetes. Dengan cepat ia
mengusap matanya.
“Terima kasih.” Suaranya gemetar.
“Terima kasih atas semua yang sudah kau lakukan untukku. Aku selalu senang
bersamamu. Kau membuat segalanya menyenangkan. Saat-saat bersamamu adalah
saat-saat paling membahagiakan. Aku selalu mengira saat itu bisa bertahan
selamanya.” Dengan susah payah Tara mengangkat kepalanya, menatap Tatsuya. Dan
matanya melebar. Sebelah mata Tatsuya yang tidak tertutup perban sepertinya
basah. Tatsuya menangis.
Air mata Tara semakin deras.
“Tatsuya,” panggilnya, lalu membekap mulutnya sendiri ketika ia mulai terisak.
“Jangan marah padaku kalau aku menangis sekarang. Hari ini saja. Biarkan aku
menangis.” Ia menggeleng. Dengan susah payah Tara menarik nafasnya. “Dengarkan
aku. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja. Mungkin butuh
waktu, tapi aku akan baik-baik saja. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan
lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti
biasa. Aku janji.”
Tara semakin terisak. Sebelah
tangannya memegang lengan Tatsuya, sementara tangannya yang lain mendekap
mulutnya. “Aku akan baik-baik saja” isaknya pelan. “Aku akan selalu
menyayangimu.”
Lalu Tara mendengar bunyi panjang
dan datar yang membuat bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba saja ayahnya
menariknya menjauh. Dan tubuh Tatsuya sudah di kerumuni oleh orang-orang
berpakaian putih.
Tara mematung. Kesadarannya seakan
menghilang. Tapi air matanya mengalir deras dalam dekapan ayahnya.
Jangan
marah padaku kalau aku menangis ... hari ini saja ... kau boleh lihat sendiri
nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan
mengoceh seperti biasa .. aku janji ..
------------
Epilog
Rabu, 21 November
From : Fujisawa Tatsuya
To : Sebastian Giraudeu
Subject : Bagaimana keadaannya?
Sebastian, apakah dia baik-baik saja?
Kamis, 22 november
To : Fujisawa Tatsuya
From : Sebastian Giraudeu
Subject : Re: Bagaimana keadaannya?
Tara baik-baik saja walaupun masih
murung. Dia masih sangat sedih, tapi wajar saja menurutku. Sejak kau pergi, dia
mengurung diri di apartemennya selama dua hari. Tidak bekerja dan menolak
bicara. Tapi setelah itu dia membaik. Dia sudah kembali bekerja. Tentu saja
kadang-kadang masih pendiam dan suka melamun, tapi dia baik-baik saja. Kau
tidak usah khawatir.
Kamis, 29 November
From : Fujisawa Tatsuya
To : Sebastian Giraudeu
Subject : None
Sahabatkku yang baik, bagaimana
keadaannya sekarang? Ngomong-ngomong, kau tidak memberitahunya tentang ini,
bukan?
Jumat, 30 November
To : Fujisawa Tatsuya
From : Sebastian Giraudeu
Subject : Re:
Bagaimana keadaannya?
Kau tahu betapa susahnya aku
merahasiakan sesuatu darinya? Tapi kau tenang saja teman, Tara sekali tidak
tahu aku sudah menjadi semacam mata-mata tidak resmi bagimu.
Tara sekarang ini sedang pergi
berbelanja bersama Ėlise. Malam nanti kami ada janji makan malam bersama. Oh,
dia sudah semakin ceria. Dia sudah tertawa seperti dulu. Dan kalau kau ingin
tahu, dia juga sudah makan tepat waktu. Dia sangat sehat. Tidak sakit apapun.
Minggu, 02 Desember
From : Fujisawa Tatsuya
To : Sebastian Giraudeu
Subject : Trims
Maafkan kalau aku memintamu menjadi
“mata-mata”. Aku lega mendengar dia baik-baik saja. Dia sangat beruntung punya
teman sepertimu.
Terima kasih, Sebastian.
Senin, 03 Desember
To : Fujisawa Tatsuya
From : Sebastian Giraudeu
Subject : Kau
sendiri?
Hei, aku sama sekali tidak keberatan
menjadi mata-mata. Aku tahu kau mencemaskan tara, sama seperti kami disini.
Tapi kau tentu sudah tahu, Tara itu gadis yang kuat. Dia pasti bisa bertahan.
Bagaimana denganmu sendiri? Kau
baik-baik saja?
Tatsuya
terpekur menatap laptop-nya. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan
membaca e-mail dari Sebastian berulang-ulang, khusunya kalimat terakhir. Apakah
dirinya baik-baik saja setelah meninggalkan paris dan kembali ke kehidupan
normalnya di Tokyo?
Kehidupan
normal ...? kehidupan normal itu seperti apa...? ia sudah lupa.
Ia
teringat permohonan yang dibuatnya ketika merayakan ulang tahunnya bersama Tara
dulu. Gadis itu memaksanya mengucapkan permohonan. Katanya permohonan saat
ulang tahun akan terkabul.
Saat
itu Tatsuya punya banyak permohonan yang ia tahu tidak akan bisa terkabul.
Kenyataan tidak akan bisa diubah. Tetapi ketika ia memandang Tara dan
melihatnya tersenyum, ia tahu apa yang diinginkannya.
Sekarang
ini ia hanya punya satu keinginan di atas segalanya. Satu permohonan.
Ia
ingin Tara Duppont selalu bahagia. Walaupun itu berarti ia harus menyerahkan
seluruh hidupnya.
Tatsuya
menatap layar laptop dan mulai mengetik.
From : Fujisawa
Tatsuya
To : Sebastian Giraudeu
Subject : Re: Kau
sendiri?
Selama dia bahagia, aku juga akan
bahagia. Sesederhana itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar